Selasa, 10 Januari 2012

Pohon, akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah kepel.

Tidak seperti lazimnya buah yang menempel pada dahan dan ranting, buah kepel justru meruyak di sekeliling batang utama pohon yang mencapai diameter 40 cm. Batang tempat buah menempel berwarna coklat-kelabu tua sampai hitam, yang secara khas tertutup oleh banyak benjolan (tubercles) yang besar-besar. Karena ukuran buahnya yang segede kepalan tangan orang dewasa (kepel, dengan “e” pepet), orang Jawa menamakannya buah kepel. Melambangkan unsur kesatuan dan keutuhan mental dan fisik seperti tangan yang terkepal.

Di Jawa Barat disebut burahol, sampai dua orang taksonomis mancanegara yang mengidentifikasi tanaman itu memberi nama Latin Stelechocarpus burahol.


Deodoran sekaligus Alat KB
Kepel termasuk tanaman langka di Indonesia. Secara geografis pohon kepel ditemui di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaysia. Pohon ini mempunyai arti filosofis tersendiri bagi keraton di samping buahnya berguna untuk memelihara kecantikan puteri keraton Mataram. Hanya dengan memakan buah itu yang sudah masak, para putri ini sudah bisa berbau bunga violces. Keringatnya wangi, dan napasnya harum. Daging buah kepel dapat berfungsi sebagai peluruh kencing, mencegah radang ginjal dan menyebabkan kemandulan (sementara) pada wanita. Jadi, buah ini oleh para wanita bangsawan digunakan sebagai parfum dan alat KB. Baginda menyuruh menanam pohon itu di halaman istana, untuk diambil buahnya bagi para putri keraton.
Di DIY, Jawa tengah dan Jawa Timur pohon ini memiliki reputasi sebagai tanaman keraton membuat rakyat jelata jaman dulu enggan menanamnya. Pada jaman penjajahan orang percaya bahwa hanya orang yang kuat lahir batin yang mampu meniru gaya hidup keluarga keraton. Orang yang tidak kuat akan kualat. Kepercayaan waktu itu adalah hanya pejabat setingkat adipati yang pantas dan kuat lahir batin meniru perilaku keluarga kerajaan. Di Bumisegoro, pohon ini sekarang masih ada meskipun tidak banyak karena sebagian tergusur oleh pembangunan rumah hunian dan atau tergantikan oleh pohon rambutan yang lebih memiliki nilai ekonomis.
Kalau di Jawa Tengah kepel menjadi langka karena rakyat membabatnya habis lantaran takut kualat, di Jawa Barat burahol ditebangi karena dianggap tidak ada harganya. Tak pernah ada usaha menanamnya kembali di kebun pekarangan setiap kali ada pembukaan hutan untuk permukiman baru.

Pohon hias potensial
Pohon itu lumayan indahnya, dengan batang yang tegak lurus, dan tajuk berbentuk kerucut. Cabang-cabangnya tumbuh hampir mendatar. Di daerah atasan lebih kecil daripada di daerah bawahan, sehingga membentuk kerucut alami yang indah.
Kalau usai berbuah kemudian menumbuhkan tunas daun muda yang baru, pohon itu lebih semarak lagi, karena hijaunya daun tua dihias dengan warna merah daun muda seperti daun kayu manis. Daun itu akan lebih mengkilat kalau tertimpa sinar matahari. Daun kepel bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat. Lalap daun kepel mampu menurunkan kadar kolesterol. Tak mengherankan, kalau ia disukai sebagai tanaman hias oleh para putri keraton.

dikutip dari: Kepel bin burahol, posted by bumisegoro under eksotis, sosial budaya